Perempuan Penuh Luka
Perempuan Penuh
Luka
Fallaqiyah Bin Thahir
Ambon, 27 Mei 2022
Perempuan penuh luka itu adalah aku, yang
masa kecilnya terkikis pilu oleh perpisahan orang tuaku. Perempuan penuh luka
itu adalah aku, yang harus menangis melihat ibu tersakiti berulang kali oleh
lelaki yang dicintainya. Dan, perempuan penuh luka itu adalah ibu, yang harus
kembali pilu melihat aku yang terluka
sama seperti apa yang dialaminya. Yah, perempuan terluka itu adalah aku dan ibu.
***
‘Mengapa aku begini?’ tanyaku dalam
hati. Tiga hari sudah, aku mengurung diri di dalam kamar. Berteman dengan sepi
dan keresahan yang telah menenggelamkanku larut dalam kepedihan hati, putus asa,
dan ketidakpedulian terhadap diri sendiri. Senja sore itu meninggalkan bekas luka yang
masih membias diingatanku, sangat dalam.
‘ Bodoh, jika aku terus-terusan seperti
ini.’ Aku kembali membatin sambil meremas foto Attala, lelaki yang
menikahiku 2 tahun yang lalu. Lelaki yang pernah membuatku jatuh cinta padanya,
merangkai sejuta impian menjalani pernikahan yang indah hingga menua bersama.
“
Fi, Sofi…” suara lembut itu terdengar dari balik pintu kamarku. Aku menjatuhkan
air mata ketika suara lembut itu kembali mengalun pelan memanggil namaku. Aku
tahu, sebelum aku menyahutnya, ia akan tetap menungguku di depan pintu kamar. Suara
itu tak lelah memburuku tiga hari ini. Aku tahu, kekwatirannya untukku telah
menggunung. Suara itu adalah suara ibuku. Perempuan berdarah Ambon yang telah
berumur senja.
‘Ibu’ batinku. Aku bergegas membuka
pintu kamar. Meniadakan kebodohanku yang telah membuat ibuku khawatir
berhari-hari. Seperti tersadar, begitulah kiri-kira diriku. Saat pintu terbuka,
kutatap mata ibu lekat. Netraku dan ibu saling berpapasan. Wajah ibu terlihat
khawatir dengan mata yang memerah. Cukup lama aku dan ibu saling menatap,
seperti dua orang kaku yang terasa asing, lalu kuhamburkan tubuh mungilku
padanya. Memeluknya erat, menyandarkan kepala dipundaknya dengan kegundahan
yang kian sesak di dada.
Sumber : https://umroh.com
Aku menangis, air mata ini luruh begitu saja.
Kepiluan ini bukan tentang aku yang sedang mengingat adegan suamiku
berselingkuh di depan mataku sendiri kala senja tiga hari yang lalu, akan
tetapi ini tentang ketidaksanggupanku melihat wajah cemas ibuku. Ibu pasti
terluka melihat keadaanku saat ini yang tak terurus, terpuruk, seolah sedang
menghukum diri sendiri.
“
Apa yang terjadi padamu, Nak?” tanya ibu sambil mengelus kepalaku
Kristal
bening yang sedari tadi kucoba tahan di depan ibu, akhirnya meluap juga.
Mulutku seolah bisu tak mampu menjawab pertanyaan ibu. Aku masih mematung
dengan posisi yang sama, kemudian ibu mengajakku untuk duduk di atas sebuah
sofa depan ruang nonton.
“Ke
mana suamimu?” kembali pertanyaan ibu memburuku
Aku
tak lagi menjawab pertanyaannya. Kurebahkan tubuhku pada sandaran sofa sambil
memijat pelan kepalaku yang terasa hampir pecah. Air mataku kembali meluap
membajiri kedua pipiku. Kutatap wajah ibu dalam, perempuan tua itu membutuhkan jawaban
atas segala pertanyaannya.
Diamku
memang penuh tanda tanya bagi ibu. Aku mengusap air mataku, mengumpulkan
sisa-sisa tenaga, menguatkan jiwa dan hati untuk menyampaikan luka yang
menyesaki dada. Bagaimanapun ia adalah ibuku. Perempuan yang tidak akan pernah
melepaskan genggaman tangannya untukku. Dan, ia harus tahu apa yang menimpaku.
“
Apa yang terjadi padamu dan di mana suamimu?”
Ibu kembali mengulang pertanyaannya
Aku
mengembuskan napas panjang, menutup mataku yang terlihat bengkak dan sembab,
kemudian aku berkata
“
Diii…Dia…Attala telah pergi bersama wanita yang ia cintai, Bu.” Ucapku dengan terbata.
Raut
wajah kaget menyeruak memenuhi wajah ibu. Perempuan berkulit hitam manis itu
menghela napas berat, kemudian melepaskannya. Kuperhatikan matanya mulai
berair. Aku tahu ibu pasti tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Bahkan ia
barangkali yang lebih terluka saat mengetahui kenyataan ini, karena Attala
adalah lelaki pilihannya yang ia jodohkan denganku.
“
Apakah yang kamu ucapkan itu benar, Nak?” tanya ibu dengan suara yang serak
ingin memastikan.
Aku
tahu suara ibu yang terdengar serak karena berusaha menahan tangisnya. Aku memberanikan
diri menatap matanya dan berkata dengan lirih
“
Aku sendiri yang melihat mereka, Bu. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dan
tiga hari yang lalu adalah puncaknya. Aku
tak sengaja bertemu dengannya yang tengah bermesraan dengan perempuan lain
di salah satu kafe yang dulu sering kami datangi bersama. Saat itu Kami
bertengkar hebat. Dia menghinaku, tak ada kepedulian sedikit pun padaku di
wajahnya dan setelah itu ia pergi bersama perempuan yang dicintainya.
Attala…Attala enggak pernah mencintaiku, Bu.”
Bak
disambar petir. Barangkali itu adalah perumpamaan yang pas untuk ibu. Ia
terbelakak menatap mataku. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya luruh
juga bersama rintik hujan yang perlahan mengetuk atap rumahku sore itu. Jawabanku
sudah cukup menjawab pertanyaan ibu. Perempuan tua itu langsung memeluk tubuhku
dan berkata
“
Mengapa kamu harus menanggung luka ini sendirian, Nak? Harusnya ibumu yang menanggung
semua ini. Ibu yang jahat telah salah memilih suami untukmu.”
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi, semua diksi yang tersimpan di benakku seketika
lenyap. Menyalahkan ibu tentang semua itu rasanya tak mungkin. Sebab seorang
ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk juga ibuku.
Aku terdiam mendengar perkataan ibu yang terus
mengumpat dirinya sendiri. Lalu kupeluk tubuh ibu erat dengan deraian kristal
bening yang terus menganak sungai kedua pipiku.
Aku tahu, selain aku yang patah dan
terluka, ibu pun demikian. Dua perempuan yang terluka dengan konflik yang sama.
Dulu, ibu juga ditinggal pergi ayah saat aku berumur 8 tahun demi wanita lain.
Meski masih kecil, akan tetapi aku merekam semua kejadian yang pernah ayah
lakukan pada ibu. Dan, itu membuatku terluka.
Aku masih mengingat, bagaimana ayah
menendang ibu di hadapan wanita selingkuhannya saat ibu berlutut berharap ayah
tak pergi meninggalkan dirinya dan aku. Bagaimana ibu memelukku saat aku menangis
melihat perlakuan ayah pada ibu. Bagaimana saat itu ibu bak perempuan gila yang
mengurung diri di dalam kamarnya berhari-hari. Ibu menampar, menjambak,
menyayat dirinya sendiri. Ibu hampir saja kehilangan kewarasannya. Namun, ibu
seketika sadar saat ia melihat tubuh mungilku meringkuk di sudut kamar dengan
linangan air mata. Aku ketakutan dan tak terurus berhari-hari. Yah, saat itu
Tuhan mengembalikan kesadaran ibu, menguatkan ibu. Ibu menghampiriku, memelukku
dan mengucapkan maaf karena telah mengabaikan diriku berhari-hari. Rekaman itu kembali membayangiku saat konflik yang
sama menimpaku.
“ Mengapa kamu harus alami apa yang
ibu alami, Nak?” ucap ibu membuatku
terbelalak
Aku tak ingin melihat luka lama ibu
kembali menganga dengan masalah yang kualami saat ini. Sesungguhnya apa yang
kualami saat ini adalah garis kehidupanku yang ditetapkan Tuhan padaku.
Pertanyaan ibu membuat dadaku
semakin sesak. Aku tak ingin menanggapinya. Aku mengusap wajahku yang lelah
dengan kedua tanganku. Berharap ibu tak lagi mengulang pertanyaannya. Namun
harapanku gagal, ibu kembali mengulang pertanyaannya.
“ Mengapa, Nak? Mengapa kamu harus
alami apa yang ibu alami?” tanya ibu dengan penuh linangan air mata. Tangisnya
tak lagi tertahankan membelah keheningan di ruang nonton. Tangisku kembali
pecah melihat ibuku. Aku semakin hancur, namun kembali kucoba tenangkan diriku
sendiri dan berkata
“ Tuhan tidak akan pernah
memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Ini ujianku, Bu. Insyaallah
aku akan kuat menjalani semua ini. Seperti ibu yang kuat, begitupun aku. Kuakui aku hancur, terluka, kecewa, terpuruk,
dan sakit hati, itu manusiawi, Bu. Aku tak akan menyalahkan siapapun atas apa
yang terjadi padaku. Jika saat ini aku berkata aku adalah perempuan yang tegar
dan kuat, itu adalah bohong. Akan tetapi kumohon, Bu, tolong bantu aku untuk
bisa terus melangkah menjalani ujian ini. “
Ibu menghentikan tangisannya saat
mendengar kata-kataku. Ia menggenggam tanganku, genggaman tangannya sangat kuat
seolah memberi penguatan dan dukungan atas apa yang kutakan tadi. Lalu ibu
memelukku dan berbisik pelan di telingaku
“ Kamu harus kuat, tabah, dan sabar
dalam menghadapi dan menjalani ujian ini, Nak.”
Aku mengangguk, mengiyakan
perkataan itu. kemudian semua kembali hening. Sore itu di bawah rintik hujan
yang perlahan menjadi deras, aku mengikrarkan diri untuk lagi menangis di
hadapan ibuku, apalagi membuat ibu menangis dan berusaha menerima dengan ikhlas
menjalani takdir yang Tuhan tetapkan untukku.
***
Aku
kembali menata hari-hari panjangku tanpa lagi ada Attala di sisiku. Menikmati semua luka itu dengan perlahan meski
terasa sulit. Menghapus jejak lelaki yang katanya tak pernah mencintaiku dalam
pernikahanku dan dia. Mengubur semua kenangan indah bersamanya, dan
menyembuhkan dua luka sekaligus. Luka ibuku yang kembali menganga dan lukaku
sendiri.
Aku
tak lagi mengeluhkan kisahku pada Tuhan dalam sujudku. Saat kurapalkan semua
doaku pada Tuhan, aku tak lagi mempertanyakan mengapa semua harus terjadi
padaku. Aku berharap Tuhan segera menyembuhkan lukaku, memulihkan psikisku. Menjadikanku
perempuan kuat dan tegar dalam menapaki langkah menjalani hidupku dengan penuh
kedamaian.
_Selesai_
Tentang Penulis
Fallaqiyah Bin Thahir
Perempuan Maret yang memiliki nama
lengkap Syarifa Munira Bin Thahir. Mencintai dunia kepenulisan sejak duduk di
bangku menengah atas. Perempuan penyuka warna ungu yang memiliki hobi memasak
dan membaca buku sastra. Kesehariannya sebagai seorang tenaga pendidik di
Yayasan Cendekia Ambon. Bercita – cita menjadi seorang penulis yang hebat.
Posting Komentar untuk "Perempuan Penuh Luka"